Sejarah Legislatif di Kerajaan Gowa

Era Kasuwiang Salapanga

Dalam sejarah Gowa disebutkan bahwa sistem pemerintahan di Gowa pada tumanurung (1320), terdiri dari Sembilan Kasuwiang yang 9 pemimpin kaum ke-9 negeri dimaksud adalah Kasuwiang Tombolo, Lakiung, Sao Mata, Parang-Parang, data, agang Je'ne, Bisei, Kalling, dan Sero. Pemimpin dari ke 9 Kasuwiang ini sering disebut Kasuwiyang Salapanga.

Suatu ketika rakyat dari 9 negeri ini dilanda perang saudara ketua dewan legislatif yang disebut Pacallayya diharapkan bisa menyelesaikan persoalan, namun tak mampu berbuat apa-apa dan perang saudara terus berlanjut.

Untuk meredakan perang saudara maka dibutuhkan seorang tokoh yang punya kharismatik yang bisa dipatuhi oleh pihak-pihak yang bertikai. Suatu ketika terdengar berita bahwa Batara dari langit mengirim seorang Dewi Putri dari kayangan menuju Negeri Bonto Biraeng di Bukit Tamalate. Karena berita itu pacalaya bersama 9 pemimpin kaum bergegas menuju Negeri Bonto Biraeng dan mereka duduk mengelilingi sebuah bongkahan batu besar TAKA BASSIA.

Disaat penantian maka dari atas langit terlihat seberkas cahaya. Cahaya itu terus bergerak dan perlahan-lahan turun ke bumi. Cahaya itu kemudian berpijak di sebuah batu namanya Takabassia. Setelah cahaya itu turun di Takabassia, tiba-tiba cahaya itu berubah wujud menjadi seorang putri cantik jelita. Masyarakat Gowa saat itu tidak mengetahui nama tuan putri dan sehingga mereka menyebutnya Tumanurung, yang berarti orang yang turun dari negeri kayangan.

Ketika tumanurung berubah wujud menjadi seorang putri cantik, maka Pacallayya dan ke-9 kaum bersepakat mengangkat tuan Putri sebagai raja di negeri Gowa. Namun sebelum diangkat menjadi raja di Gowa terlebih dahulu ada dialog antara pacallayya dengan tumanurung yang dijadikan sebagai kontrak sosial atau perjanjian masyarakat yang harus ditaati oleh kedua belah pihak yakni antara tumanurung sebagai penguasa dan pacallayya sebagai ketua dewan legislatif dari 9 pemimpin kaum. Budayawan Gowa H. Halik Mone menjelaskan dalam kontrak tersebut digambarkan:

Angin na leko kayu: Angin mako kau naikambe leko kayu. Irikko anging, nama runang leko kayu. Artinya pemimpin diibaratkan sebagai angin dan rakyat diibaratkan sebagai daun kayu. Bila mana angin berhembus daun akan bergerak mengikuti arah angin raja dan rakyatnya harus menyatu, sama menyatunya angin dan kayu.

Jekne na batang mammayu: Jeknek mako kau naikambe batang mammanyuk. Assolongko jeknek, naammayu batang kayu’. Artinya raja atau pemimpin diibaratkan sebagai air dan rakyat diibaratkan sebagai batang kayu. Kemanapun air itu mengalir batang kayu akan mengikuti aliran air. Apa yang menjadi kehendak raja, rakyat akan mematuhinya.

Jarung na bannang panjai: jarung mako kau naikambe bannang panjai. Tekleko jarung namminawang bannang panjai. Raja diibaratkan sebagai jarum, dan rakyat diibaratkan sebagai benang kulindang. Jarum tidak akan ada gunanya kalau tidak diikuti oleh benang. Benang merupakan lambang persatu. Karena lembaran kain yang sudah digunting bisa bersatu karena adanya kerjasama antara jarum dengan benang. Demikian juga dalam pemerintahan, kalau pemerintah bersatu dengan rakyatnya untuk membangun rakyatnya.

Dari kutipan ARU atas sumpah setia di atas, akan menciptakan sinergitas antara rakyat dengan raja pemimpinnya menyatu sama dengan menyatunya antara angin dengan daun kayu, air dan batang kayu dan jarum dengan benang kulindang. Semua titah raja akan dipatuhi oleh rakyatnya sepanjang perintahnya membawa manfaat bagi orang banyak.

Tapi kalau perintahnya berakibat rusaknya negeri, maka rakyat akan mengikutinya dan berbalik untuk memberontak. Seperti tergambar dalam bait Aru berikutnya yang berbunyi:

Iya sani lambusukpi nakontu tojeng. Artinya perintah yang harus diikuti oleh rakyat adalah perintah yang sesuai aturan yang telah ditetapkan antara eksekutif dan legislatif itu membawa kebenaran.

I katte Tau Gowayya Annaggalaki RI Kana baji. Kimappatojeng Rupa Gau. Namppa Nacinik, Apamo Gauk punna sisala Bulunna na Tingkokona. Artinya orang Gowa memegang ucapan yang baik tetapi mereka tidak akan yakin kalau melihat tingkah laku pemimpinnya, lain yang diucapkan lain pula diperbuat.

Dalam perkembangan selanjutnya, wilayah kerajaan Gowa terus melakukan ekspansi ke berbagai daerah kerajaan sekitar. Ekspansi itu dimulai pada masa pemerintahan raja Gowa ke VI Tunangtakolipi yang telah berhasil memperluas kerajaannya sampai ke Tallo. Raja Tunangtakolipi memiliki dua kerajaan yaitu bernama Batara Gowa dan putra keduanya bernama Karaeng Loe Ri Sero.

Raja Tunangtakolipi khawatir, kalau ia turun tahta, maka kedua anaknya akan terjadi perebutan kekuasaan. untuk menghindari terjadinya perebutan kekuasaan dari kedua putranya maka dibentuklah pemerintahan dengan membagi dua kekuasaan yaitu untuk Putra Sulung Batara Gowa diberi kekuasaan:

  • Gallarang Pattallassang
  • Gallarang Bontomanai Barat
  • Gallarang Bontomanai Timur
  • Gallarang Tombolo
  • Gallarang Mangasa
  • Gallarang Paccellekang

Dan untuk wilayah kekuasaan adiknya Karaeng Loe Ri Sero, wilayah kekuasaannya meliputi:

  • Gallarang Saumata
  • Gallarang Pannampu
  • Gallarang Moncongloe
  • Gallarang Parangloe

Pada masa pemerintahan raja Gowa ke VII Batara Gowa, maka kasuwiang salapanga berubah menjadi bate salapanga yang terdiri dari 9 Gallarang, yakni: Gallarang Paccelekkang, Pattallassang, Bontomanai, Tombolo, Mangasa, Saumata, Pannampu, Parangloe, dan Moncongloe. Ke sembilan negeri itu, kemudian lebih dikenal dengan nama Bate salapanga.

Era Bate Salapanga

Lembaga legislatif bate salapanga terus mengalami perubahan seiring dengan perkembangan politik di daerah kerajaan Gowa. Pada tahun 1565 saat itu kerajaan Gowa dipimpin oleh Karaeng Tunibatta yang baru bertahta selama 40 hari. Beliau kemudian memimpin langsung peperangan melawan pasukan kerajaan Bone. Namun saat karaeng mengintai musuh, tiba-tiba dari belakang ada salah seorang pasukan elit Bone yang langsung mengayunkan pedangnya dan membelah kepala sang raja. Atas tetakan itu Somabaya Ri Gowa terkapar bersimbah darah dan menghembuskan nafas terakhirnya. Raja Gowa kemudian bergelar karaeng Tubnibatta artinya raja yang terbelah kepalanya akibat tetakan parang (pedang).

Dalam peperangan itu, ada tiga Gallarang yang dipercayakan untuk melindungi raja, yaitu Gallarang Pampang, Gallarang Tamaungmau, dan Gallarang Batua. Karena ketiganya teledor dalam menjaga raja, sehingga ketiga Gallarang itu dipecat sebagai anggota Bate Salapanga.

Ketiga anggota Bate Salapanga yang dipecat tersebut kemudian digantikan oleh Gallarang Sudiang, Karaeng Manuju dan Karaeng Borisallo yang kemudian menjadi anggota Bate Salapanga yang baru.